HALOTANGERANG – Di tengah pesatnya transformasi digital, satu konsep muncul sebagai pilar utama revolusi industri masa depan. Bagas Adji Saputra, seorang praktisi teknologi, menyebut teknologi ini sebagai “jembatan antara imajinasi dan realitas.” Ia menjelaskan bahwa digital twin bukan sekadar alat simulasi canggih, melainkan representasi masa depan di mana setiap aspek kehidupan manusia saling terhubung, dapat diprediksi, dan dioptimalkan melalui dunia virtual.
Bagas menguraikan bahwa digital twin adalah salinan digital dari objek fisik, sistem, atau proses yang beroperasi secara real-time. Teknologi ini memanfaatkan sensor IoT, kecerdasan buatan (AI), dan komputasi awan untuk menciptakan model dinamis yang mampu memantau, menganalisis, dan memprediksi perilaku objek aslinya. “Bayangkan sebuah mesin pabrik yang dapat ‘berbicara’ melalui data, memberi tahu kapan harus dirawat, atau gedung pencakar langit yang memperingatkan risiko kerusakan struktural. Ini bukan lagi fiksi ilmiah,” jelasnya.
Sebagai seorang praktisi, Bagas menekankan bahwa digital twin telah membuka peluang optimisasi di hampir semua sektor. Di industri manufaktur, teknologi ini dapat mengurangi biaya operasional hingga 30% dengan memprediksi kerusakan mesin. Dalam bidang kesehatan, dokter dapat berlatih melakukan operasi jantung menggunakan replika digital pasien, sehingga mengurangi risiko kesalahan. Bahkan, kota-kota seperti Singapura dan Amsterdam telah memanfaatkan digital twin untuk merancang smart city yang efisien dan responsif terhadap bencana. “Ini adalah solusi untuk masalah yang belum terjadi. Kita bisa mencegah krisis sebelum muncul,” tambahnya.
Namun, Bagas mengakui bahwa adopsi digital twin masih menghadapi beberapa tantangan. Isu keamanan data, kesenjangan infrastruktur digital, dan kurangnya sumber daya manusia yang terampil menjadi hambatan utama. “Data adalah inti dari digital twin. Jika sistem diretas, seluruh model bisa menjadi bumerang,” ungkapnya. Oleh karena itu, ia mendorong kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi untuk membangun kerangka keamanan siber, pelatihan talenta digital, serta pemerataan akses teknologi. “Kita tidak boleh membiarkan digital twin menjadi monopoli negara maju. Ini harus menjadi solusi global,” tegasnya.
Salah satu aspek menarik dari penjelasan Bagas adalah potensi digital twin dalam mendukung keberlanjutan lingkungan. Dengan memodelkan emisi karbon, aliran limbah, atau konsumsi energi secara virtual, perusahaan dan pemerintah dapat merancang strategi yang lebih ramah lingkungan. “Bayangkan jika setiap negara memiliki digital twin bumi. Kita bisa mensimulasikan dampak kebijakan lingkungan sebelum diterapkan. Ini adalah senjata melawan perubahan iklim,” ujarnya dengan semangat.
Bagas juga menyoroti bagaimana digital twin akan mengubah hubungan antara produsen dan konsumen. Di masa depan, setiap produk, mulai dari mobil hingga smartphone, akan memiliki profil digital yang terus belajar dari kebiasaan pengguna. “Ini bukan sekadar transaksi jual-beli, tetapi hubungan simbiosis. Perusahaan akan memahami pelanggan lebih dalam dari diri mereka sendiri,” tuturnya.
Meskipun demikian, Bagas mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat. Keberhasilan digital twin bergantung pada kesiapan manusia untuk memimpin perubahan. “Kita perlu pola pikir yang berani bereksperimen, berkolaborasi, dan berpikir jangka panjang. Digital twin adalah kanvas, tetapi kita yang harus melukis masa depan di atasnya,” pungkasnya. Bagi siapa pun yang mendengarkan, jelas bahwa Bagas Adji Saputra tidak hanya melihat digital twin sebagai tren, tetapi sebagai bahasa baru peradaban yang akan menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang tenggelam dalam gelombang disrupsi. (*)
Artikel ini juga tayang di vritimes