HALOTANGERANG – Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi berbasis komunitas yang fokus pada isu HIV, bersama mitra-mitranya, telah mengajukan banding kepada Komisi Banding Paten di Kementerian Hukum RI. Tujuan dari banding ini adalah untuk membatalkan paten yang diberikan kepada Gilead Sciences, perusahaan farmasi multinasional, untuk Lenacapavir, obat HIV generasi terbaru.
Proses banding ini dimulai pada awal tahun 2024, dengan sidang pembacaan putusan yang dijadwalkan pada Selasa, 18 Maret 2025, di Jakarta. Langkah ini diambil untuk memastikan akses yang terjangkau bagi Orang dengan HIV (ODHIV) dan kelompok rentan lainnya di Indonesia.
Mencegah Monopoli Paten untuk Akses Obat yang Adil
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC, menekankan bahwa ketersediaan obat generasi baru yang lebih efektif dan efisien adalah kunci untuk mencapai target global Triple 95s dan mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030.
“Akses terhadap pengobatan sangat penting dalam perjuangan melawan AIDS. Lenacapavir, seperti yang dinyatakan oleh UNAIDS, memiliki potensi besar untuk membantu mengakhiri epidemi ini. Namun, monopoli paten membuat harga obat ini sangat tinggi dan tidak terjangkau bagi jutaan ODHIV di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” ungkap Aditya.
Lenacapavir adalah obat antiretroviral (ARV) yang hanya perlu diberikan dua kali setahun melalui injeksi, sehingga memudahkan pasien dalam menjalani terapi. Selain digunakan untuk pengobatan HIV, Lenacapavir juga sedang diteliti untuk pencegahan HIV (PrEP). Dengan cara kerjanya yang unik dan hasil uji klinis yang menjanjikan, Lenacapavir diakui sebagai ‘Terobosan Tahun Ini’ oleh jurnal Science dan disebut sebagai ‘harapan untuk mengakhiri AIDS’ oleh UNAIDS.
Di Indonesia, Gilead Sciences telah mengajukan empat paten untuk Lenacapavir, di mana dua di antaranya telah disetujui. Salah satu aplikasi paten mencakup klaim struktur kimia umum (Markush claim), sementara tiga lainnya mengklaim senyawa Lenacapavir dan bentuk injeksinya. IAC berpendapat bahwa paten yang diajukan tidak memenuhi syarat kebaruan dan langkah inventif sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Harga Obat yang Tidak Terjangkau Akibat Monopoli
Monopoli paten menyebabkan harga obat menjadi sangat mahal karena menghalangi persaingan. Saat ini, Lenacapavir dijual dengan harga $42.250 per orang per tahun atau sekitar Rp691,2 juta, angka yang sangat tinggi dan tidak terjangkau bagi banyak ODHIV di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebuah studi dari Universitas Liverpool memperkirakan bahwa Lenacapavir versi generik dapat diproduksi dengan biaya hanya $26-$40 per orang per tahun (sekitar Rp425 ribu – Rp654 ribu), dengan keuntungan jika skala produksi mencapai 10 juta pengguna, yang berarti 1/1000 dari harga saat ini.
Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior dari Indonesia for Global Justice (IGJ) dan anggota Koalisi Obat Murah (KOM), menyoroti praktik patent evergreening yang sering dilakukan oleh perusahaan farmasi besar untuk memperpanjang monopoli melebihi masa perlindungan standar 20 tahun.
“Paten Lenacapavir akan berakhir pada tahun 2034 di Indonesia. Namun, dengan adanya pendaftaran paten sekunder, monopoli ini berpotensi diperpanjang hingga 2037. Oleh karena itu, upaya banding paten ini sangat penting untuk mencegah perpanjangan monopoli yang tidak adil,” jelas Hanim.
Mendorong Produksi Generik untuk Keberlanjutan Program HIV dan AIDS Nasional
Banding paten adalah mekanisme yang memungkinkan pihak ketiga untuk menentang pemberian paten dalam jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, mekanisme ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten serta perubahannya di UU No. 65 Tahun 2024. Banding paten sangat penting untuk memastikan kualitas paten yang didaftarkan dan akses terjangkau ke obat-obatan esensial dengan mendorong produksi generik lokal.
Saat ini, program HIV dan AIDS nasional di Indonesia telah mencakup 503.261 ODHIV, dengan seluruh biaya pengobatan disubsidi oleh pemerintah. Namun, pemerintah tidak dapat mengalokasikan anggaran untuk ARV dengan harga setinggi ratusan juta rupiah per pasien per tahun. (*)
Artikel ini juga tayang di vritimes